Ikan bakar adalah salah satu menu yang bisa menaikan selera makan. Bahkan, dengan model olahan ini, orang yang tak begitu suka ikan pun bisa sejenak lupa bahwa ikan bukan makanan favoritnya. Namun, kali ini lain ceritanya. Melihat sisa ikan bakar yang hanya tinggal kepala dan kerangkanya, saya malah teringat kisah yang bagus dan mengandung hikmah. Bro and Sis, sekedar berbagi, saya coba untuk kembali ceritakan di sini.
Jadi, di satu tempat terdapatlah seorang alim, guru agama, dan juga berprofesi sebagai nelayan. Luar biasanya, ikan hasil tangkapan selalu dia bagikan dan hanya menyisakan kepalanya saja untuk beliau makan. Beliau begitu sederhana dan bersahaja sampai orang bisa menyimpulkan sedikit pun kemewahan tak menjadi tujuan dalam hidupnya.
Melihat sosok seperti itu, tentu murid-muridnya bangga dan merasa beruntung mendapat guru yang pantas diteladani.
Suatu saat, diceritakan salah satu muridnya hendak melakukan perjalanan ke suatu tempat yang cukup jauh. Jika daerah Syeikh Kepala Ikan, pesisir, kita sebut saja bunga sebagai tujuan Sang Murid.. eh, 'gunung', maksudnya.
Teringat bahwa di daerah gunung ada juga teman sejawatnya, Syeikh Kepala Ikan berpesan agar Sang Murid mampir ke tempat temannya dan menyampaikan salam darinya.
Singkat cerita, pergilah Sang Murid ke daerah yang dituju. Setelah melalui perjalanan beberapa lama, sampailah juga dia di gunung. Urusan yang menyangkut tujuannya pergi pun segera diurusi dan selesai dengan lancar.
Tiba waktunya dia kembali, langkahnya terhenti karena teringat pesan untuk menemui teman Sang Guru. Akhirnya, dia pun singgah di tempat teman gurunya tersebut. Namun, apa dinyana, Sang Murid justru tidak nyaman melihat teman Sang Guru yang hidup dalam kenewahan dan bergelimang harta. Beda 180 derajat dari gurunya.
Namun, amanah tetaplah amanah dan dia harus sampaikan salam Sang Guru kepada temannya tersebut.
Tak lama Sang Murid di sana, kembalilah dia ke pesisir dengan penuh prasangka dan keheranan melihat kenyataan yang baru dia saksikan. Sesampainya dia berjumpa kembali dengan Syeikh Kepala Ikan, Sang Guru tersebut bertanya.
"Muridku, adakah pesan yang temanku titipkan padamu?"
Dengan ragu dia menjawab, "Ada syeikh, tapi mungkin beliau keliru."
"Apa pesannya? Katakan saja." Syeikh kembali bertanya.
"Beliau berpesan agar syeikh jangan terus memikirkan dunia." Jawab, Sang Murid.
Jelaslah kenapa Si Murid ragu menyampaikan karena dalam benaknya, bagaimana mungkin gurunya yang begitu sederhana mendapatkan petuah seperti itu.
Setelah sejenak terdiam, Syeikh Kepala Ikan tersenyum dan berkata,
"Beliau benar, Muridku. Selama ini aku mendermakan seluruh ikan hasil tangkapanku dan hanya menyisakan kepalanya saja untuk kumakan. Namun, saat hendak makan dan melihat kepala ikan di piring, aku suka berangan dan berharap andaikan saja ikan di piring ini utuh. Bukan kepalanya saja."
Masyaallah! Bro and Sis, ternyata tipisnya dinding pembatas antara ikhlas dan tidak. Semoga kita diberikan kekuatan untuk senantiasa ikhlas dalam beramal.
Jadi, pelajaran penting dari cerita tadi adalah, yang terlihat saja belum tentu ikhlas, apalagi yang terucap..
Jadi, di satu tempat terdapatlah seorang alim, guru agama, dan juga berprofesi sebagai nelayan. Luar biasanya, ikan hasil tangkapan selalu dia bagikan dan hanya menyisakan kepalanya saja untuk beliau makan. Beliau begitu sederhana dan bersahaja sampai orang bisa menyimpulkan sedikit pun kemewahan tak menjadi tujuan dalam hidupnya.
Melihat sosok seperti itu, tentu murid-muridnya bangga dan merasa beruntung mendapat guru yang pantas diteladani.
Suatu saat, diceritakan salah satu muridnya hendak melakukan perjalanan ke suatu tempat yang cukup jauh. Jika daerah Syeikh Kepala Ikan, pesisir, kita sebut saja bunga sebagai tujuan Sang Murid.. eh, 'gunung', maksudnya.
Teringat bahwa di daerah gunung ada juga teman sejawatnya, Syeikh Kepala Ikan berpesan agar Sang Murid mampir ke tempat temannya dan menyampaikan salam darinya.
Singkat cerita, pergilah Sang Murid ke daerah yang dituju. Setelah melalui perjalanan beberapa lama, sampailah juga dia di gunung. Urusan yang menyangkut tujuannya pergi pun segera diurusi dan selesai dengan lancar.
Tiba waktunya dia kembali, langkahnya terhenti karena teringat pesan untuk menemui teman Sang Guru. Akhirnya, dia pun singgah di tempat teman gurunya tersebut. Namun, apa dinyana, Sang Murid justru tidak nyaman melihat teman Sang Guru yang hidup dalam kenewahan dan bergelimang harta. Beda 180 derajat dari gurunya.
Namun, amanah tetaplah amanah dan dia harus sampaikan salam Sang Guru kepada temannya tersebut.
Tak lama Sang Murid di sana, kembalilah dia ke pesisir dengan penuh prasangka dan keheranan melihat kenyataan yang baru dia saksikan. Sesampainya dia berjumpa kembali dengan Syeikh Kepala Ikan, Sang Guru tersebut bertanya.
"Muridku, adakah pesan yang temanku titipkan padamu?"
Dengan ragu dia menjawab, "Ada syeikh, tapi mungkin beliau keliru."
"Apa pesannya? Katakan saja." Syeikh kembali bertanya.
"Beliau berpesan agar syeikh jangan terus memikirkan dunia." Jawab, Sang Murid.
Jelaslah kenapa Si Murid ragu menyampaikan karena dalam benaknya, bagaimana mungkin gurunya yang begitu sederhana mendapatkan petuah seperti itu.
Setelah sejenak terdiam, Syeikh Kepala Ikan tersenyum dan berkata,
"Beliau benar, Muridku. Selama ini aku mendermakan seluruh ikan hasil tangkapanku dan hanya menyisakan kepalanya saja untuk kumakan. Namun, saat hendak makan dan melihat kepala ikan di piring, aku suka berangan dan berharap andaikan saja ikan di piring ini utuh. Bukan kepalanya saja."
Masyaallah! Bro and Sis, ternyata tipisnya dinding pembatas antara ikhlas dan tidak. Semoga kita diberikan kekuatan untuk senantiasa ikhlas dalam beramal.
Jadi, pelajaran penting dari cerita tadi adalah, yang terlihat saja belum tentu ikhlas, apalagi yang terucap..
Komentar
Posting Komentar