Langsung ke konten utama

Syeikh Kepala Ikan

Ikan bakar adalah salah satu menu yang bisa menaikan selera makan. Bahkan, dengan model olahan ini, orang yang tak begitu suka ikan pun bisa sejenak lupa bahwa ikan bukan makanan favoritnya. Namun, kali ini lain ceritanya. Melihat sisa ikan bakar yang hanya tinggal kepala dan kerangkanya, saya malah teringat kisah yang bagus dan mengandung hikmah. Bro and Sis, sekedar berbagi, saya coba untuk kembali ceritakan di sini.

Jadi, di satu tempat terdapatlah seorang alim, guru agama, dan juga berprofesi sebagai nelayan. Luar biasanya, ikan hasil tangkapan selalu dia bagikan dan hanya menyisakan kepalanya saja untuk beliau makan. Beliau begitu sederhana dan bersahaja sampai orang bisa menyimpulkan sedikit pun kemewahan tak menjadi tujuan dalam hidupnya.

Melihat sosok seperti itu, tentu murid-muridnya bangga dan merasa beruntung mendapat guru yang pantas diteladani.

Suatu saat, diceritakan salah satu muridnya hendak melakukan perjalanan ke suatu tempat yang cukup jauh. Jika daerah Syeikh Kepala Ikan, pesisir, kita sebut saja bunga sebagai tujuan Sang Murid.. eh, 'gunung', maksudnya.

Teringat bahwa di daerah gunung ada juga teman sejawatnya, Syeikh Kepala Ikan berpesan agar Sang Murid mampir ke tempat temannya dan menyampaikan salam darinya.
Singkat cerita, pergilah Sang Murid ke daerah yang dituju. Setelah melalui perjalanan beberapa lama, sampailah juga dia di gunung. Urusan yang menyangkut tujuannya pergi pun segera diurusi dan selesai dengan lancar.

Tiba waktunya dia kembali, langkahnya terhenti karena teringat pesan untuk menemui teman Sang Guru. Akhirnya, dia pun singgah di tempat teman gurunya tersebut. Namun, apa dinyana, Sang Murid justru tidak nyaman melihat teman Sang Guru yang hidup dalam kenewahan dan bergelimang harta. Beda 180 derajat dari gurunya.

Namun, amanah tetaplah amanah dan dia harus sampaikan salam Sang Guru kepada temannya tersebut.
Tak lama Sang Murid di sana, kembalilah dia ke pesisir dengan penuh prasangka dan keheranan melihat kenyataan yang baru dia saksikan. Sesampainya dia berjumpa kembali dengan Syeikh Kepala Ikan, Sang Guru tersebut bertanya.

"Muridku, adakah pesan yang temanku titipkan padamu?"
Dengan ragu dia menjawab, "Ada syeikh, tapi mungkin beliau keliru."
"Apa pesannya? Katakan saja." Syeikh kembali bertanya.
"Beliau berpesan agar syeikh jangan terus memikirkan dunia." Jawab, Sang Murid.
Jelaslah kenapa Si Murid ragu menyampaikan karena dalam benaknya, bagaimana mungkin gurunya yang begitu sederhana mendapatkan petuah seperti itu.
Setelah sejenak terdiam, Syeikh Kepala Ikan tersenyum dan berkata,
"Beliau benar, Muridku. Selama ini aku mendermakan seluruh ikan hasil tangkapanku dan hanya menyisakan kepalanya saja untuk kumakan. Namun, saat hendak makan dan melihat kepala ikan di piring, aku suka berangan dan berharap andaikan saja ikan di piring ini utuh. Bukan kepalanya saja."
Masyaallah! Bro and Sis, ternyata tipisnya dinding pembatas antara ikhlas dan tidak. Semoga kita diberikan kekuatan untuk senantiasa ikhlas dalam beramal.

Jadi, pelajaran penting dari cerita tadi adalah, yang terlihat saja belum tentu ikhlas, apalagi yang terucap..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ternyata, Inilah Sifat yang Bisa Memuliakan dan Menghinakan Manusia

Manusia, Mahluk Berakal yang Harus Mencari Posisinya dalam Tatanan Sosial Diakui atau tidak, sebagai makhluk yang hidup dalam tatanan kehidupan yang teratur, manusia memiliki batasan-batasan dalam segala tindak tanduknya. Karenanya, pengendalian diri dari perilaku yang bisa merusak tatanan sosial di lingkungan sekitar mutlak diperlukan guna menghindari konsekuensi negatif bagi diri maupun lingkungan akibat perilaku merusak tersebut. Sejatinya, seorang manusia memang sudah memiliki filter untuk memilah mana yang baik dan buruk untuk dilakukan sebagaimana Freud yang berteori bahwa Ego yang melakukan tindakan dari dorongan dasar Id bisa dikendalikan oleh superego yang bertugas menentukan tindakan ego tadi dengan pertimbangan baik dan buruknya. Dilansir dari belajarpsikologi.com (07/09/17) Namun demikian, kadang manusia tetaplah kalah dan berbuat di luar ketentuan dikarenakan adanya tuntutan kebutuhan maupun syahwat yang terus mendesak. Contoh sederhananya, hukum positif mau

Kaji Ulang Kartika Putri Berhijab dan Rina Nose Lepas Hijab

tribunnews.com Bukan hal yang aneh ketika seorang manusia berganti pilihan sikap. Sikap yang didasari kecenderungan hati memang sangat mungkin berubah sesuai penguatan diri kita sendiri terhadap nilai-nilai yang kita pegang. Karenanya, sungguh tepat jika kita senantiasa memohon kepada Yang Maha Membolak-balikan Hati untuk diberikan karunia berupa keteguhan hati terhadap petunjuk dan ketaatan. Ya muqallibal khulub tsabit khalbi ala dinika watho'atik. Dua dari sekian contoh mudahnya hati manusia berbolak-balik tergambar dari keputusan Rina Nose dan Kartika Putri. Serupa tapi bertolak belakang dua perempuan yang berprofesi sebagai artis ini mantap mengambil keputusan besar dalam hidupnya masing-masing. Yang satu memutuskan membuka hijab yang sempat beberapa bulan menutup kepalanya, yang lainnya malah berazam untuk mulai berhijab. Terlepas niat yang hanya mereka berdua yang tahu pasti, tugas kita tak sisa selain mendo'akan kebaikan atas setiap keputusan yang mereka am

Hukum dan Ketentuan Qurban

Assalamu’alaikum Bro and Sis.. Kurang dari seminggu lagi kita akan bertemu dengan Hari Raya Idul Adha yang juga dikenal dengan Hari Raya Qurban. Sudah siap dengan hewan qurbannya masing-masing? Biar ibadah qurbannya lebih mantap, yuk kita baca lagi beberapa dall menyangkut ketentuan qurban yang tercantum dalam hadist Nabiullah Muhammad Saw. Perintah Qurban “Sesungguhnya Kami telah memberikan karunia sangat banyak kepadamu, maka sholatlah untuk Tuhanmu dan sembelihlah qurban.” QS. Al Kautsar 1-2 Dalam ayat tersebut jelaslah Allah SWT memerintahkan kita untuk berkurban. Namun, sebagaimana perintah sholat dalam ayat tersebut, sifat perintah berkurban bersifat umum / tidak spesifik. Adapun penguatan bahwa hukum berqurban adalah sunah, dapat dilihat dalam hadis, Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “ Saya menyaksikan bersama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Shalat Idul Adha di lapangan, kemudian tatkala menyelesaikan khutbahnya beliau turun dari mimbarnya, dan beliau diber